Jakarta - Hampir semua orang mengenal makanan yang bernama martabak. Selintas ketika mendengar nama makanan ini, akan terbayang sebuah lingkaran besar, terpotong-potong dan memiliki isi. Nyam.
Pastinya bayangan itu akan buyar jika melihat martabak mavia. Muhammad Gufron adalah inisiatornya. Martabak dengan diameter 3,5 cm dilapisi rasa unik ini berhasil ia ciptakan 2011 silam. Bagaimana ceritanya?
"Idenya dulu begini. Saya terinspirasi dari (es krim) Magnum, ini sebenarnya saya bikin kayak gini ikut Magnum. Magnum kan di luarnya keras, coklat di dalamnya lembut. Kalau ini martabak yang lembut isinya," jawab Gufron saat berbincang bersama detikFinance, Selasa (4/2/2013).
Ia mengaku sebagai pengagum sejati martabak. Pantas saja, meski masih menempuh studi di jurusan Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Gufron berani memulai usaha ini. "Jauh banget ya, tapi saya memang suka martabak," tandasnya.
Modal yang disiapkak saat itu Rp 17,5 juta. Percobaan pertama, Ia memproduksi martabak berdiameter 8,5 cm, dengan posisi terbuka.
"Itu ternyata tidak sesuai dengan segmen pasar saya. Saya inginnya buat untuk anak muda, dan praktis. Akhirnya buat kayak gini lebih kecil," ucap Gufron.
Menurut dia, anak muda sering membatalkan niat membeli martabak hanya karena kebesaran dan rasa yang cenderung monoton. Harga yang dipatok pun disesuaikan, yaitu Rp 7.000. Lokasi penjualan tersebar di kantin-kantin wilayah Bogor, seperti kantin kampus dan sekolah.
"Kita sesuaikan produk dengan konsumennya. Jadi diselimuti coklat. Jadi ada campuran rasa juga. Rasanya ada original, cheese milk, sama double coklat," terang Gufron sambil memperlihatkan kreasinya.
Statusnya sebagai mahasiswa memang menjadi kendala. Membagi waktu jadi alasan utama untuk memilih mana yang menjadi prioritas. Alhasil, pilihannya ternyata berbuah manis. Saat ini ia bisa mengantongi uang Rp 30 juta per bulan.
Gufron juga menyebutkan kendalanya dalam mengelola karyawan. Setahun berjalan, masalah ini cukup membuatnya kewalahan. "Jadi sekarang ada tujuh (karyawan). Ini baru beberapa bulan sudah 2 karyawan yang berhenti. Ambik karyawan lalgi, training lagi, itu repot," jelasnya.
Tahun 2013, Ia sudah mematangkan beberapa strategi. Di antaranya dengan membuka kemitraan dengan tiga pola. Pertama, investasi dengan sistem bagi hasil dan pengembalian modal. Kedua, distribusi di mana pembagian untuk penjual 10%. Ketiga adalah reseller dengan sistem jual putus.
"Saya targetkan untuk main di Jabodetabek yang sudah ada beberapa tempat yang kami tinggal deal. Kue Lapis Bogor, Javapucino terus di UI (Universitas Indonesia) dan ada beberapa tempat di Kampung Melayu," lanjutnya.
Gufron juga akan mengakhiri produknya dijual dari kantin-kantin dan mencoba masuk ke swalayan atau mal di Jabodetabek. Menurutnya ini penting untuk menjangkau konsumen kelas menengah ke atas.
"Kalau saya jual masih di tempat yang biasa, itu ngejatuhin produk saya. Akhirnya saya ingin naik ke segmen menengah ke atas," pungkasnya.
Tertarik dengan peluang usaha ini?
Hubungi Gufron di @martabakmavia
(ang/ang)
Pastinya bayangan itu akan buyar jika melihat martabak mavia. Muhammad Gufron adalah inisiatornya. Martabak dengan diameter 3,5 cm dilapisi rasa unik ini berhasil ia ciptakan 2011 silam. Bagaimana ceritanya?
"Idenya dulu begini. Saya terinspirasi dari (es krim) Magnum, ini sebenarnya saya bikin kayak gini ikut Magnum. Magnum kan di luarnya keras, coklat di dalamnya lembut. Kalau ini martabak yang lembut isinya," jawab Gufron saat berbincang bersama detikFinance, Selasa (4/2/2013).
Ia mengaku sebagai pengagum sejati martabak. Pantas saja, meski masih menempuh studi di jurusan Perikanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Gufron berani memulai usaha ini. "Jauh banget ya, tapi saya memang suka martabak," tandasnya.
Modal yang disiapkak saat itu Rp 17,5 juta. Percobaan pertama, Ia memproduksi martabak berdiameter 8,5 cm, dengan posisi terbuka.
"Itu ternyata tidak sesuai dengan segmen pasar saya. Saya inginnya buat untuk anak muda, dan praktis. Akhirnya buat kayak gini lebih kecil," ucap Gufron.
Menurut dia, anak muda sering membatalkan niat membeli martabak hanya karena kebesaran dan rasa yang cenderung monoton. Harga yang dipatok pun disesuaikan, yaitu Rp 7.000. Lokasi penjualan tersebar di kantin-kantin wilayah Bogor, seperti kantin kampus dan sekolah.
"Kita sesuaikan produk dengan konsumennya. Jadi diselimuti coklat. Jadi ada campuran rasa juga. Rasanya ada original, cheese milk, sama double coklat," terang Gufron sambil memperlihatkan kreasinya.
Statusnya sebagai mahasiswa memang menjadi kendala. Membagi waktu jadi alasan utama untuk memilih mana yang menjadi prioritas. Alhasil, pilihannya ternyata berbuah manis. Saat ini ia bisa mengantongi uang Rp 30 juta per bulan.
Gufron juga menyebutkan kendalanya dalam mengelola karyawan. Setahun berjalan, masalah ini cukup membuatnya kewalahan. "Jadi sekarang ada tujuh (karyawan). Ini baru beberapa bulan sudah 2 karyawan yang berhenti. Ambik karyawan lalgi, training lagi, itu repot," jelasnya.
Tahun 2013, Ia sudah mematangkan beberapa strategi. Di antaranya dengan membuka kemitraan dengan tiga pola. Pertama, investasi dengan sistem bagi hasil dan pengembalian modal. Kedua, distribusi di mana pembagian untuk penjual 10%. Ketiga adalah reseller dengan sistem jual putus.
"Saya targetkan untuk main di Jabodetabek yang sudah ada beberapa tempat yang kami tinggal deal. Kue Lapis Bogor, Javapucino terus di UI (Universitas Indonesia) dan ada beberapa tempat di Kampung Melayu," lanjutnya.
Gufron juga akan mengakhiri produknya dijual dari kantin-kantin dan mencoba masuk ke swalayan atau mal di Jabodetabek. Menurutnya ini penting untuk menjangkau konsumen kelas menengah ke atas.
"Kalau saya jual masih di tempat yang biasa, itu ngejatuhin produk saya. Akhirnya saya ingin naik ke segmen menengah ke atas," pungkasnya.
Tertarik dengan peluang usaha ini?
Hubungi Gufron di @martabakmavia
(ang/ang)
Source: ( http://finance.detik.com/read/2013/02/05/073347/2161107/480/modifikasi-martabak-mahasiswa-ini-raup-omzet-rp-30-juta-bulan )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar